Minggu, 14 Oktober 2012

Antropologi Kebudayaan Indonesia
Perombakan Mentalitas Manusia Indonesia dari Shame Culture ke Quality Culture
Pengembangan Mentalitas Pembangunan dan Penegakan Supremasi Hukum

Oleh:
Arjenia Tona Arman
17605/2010

Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang
2012

A.    Perombakan Mentalitas Manusia Indonesia dari Shame Culture ke Quality Culture
Budaya malu (shame culture) merupakan budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar malu. Malu apabila dia tidak melakukannya maka dia akan di cemooh oleh orang lain. Dan itu menjadi motivasinya. Budaya tidak malu (guilt culture) adalah budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa tau dirinya, tau bagaimana kodratnya sebagai manusia. Budaya ini menghubungkan pelakunya dengan rasa sadar akan dosa.
Seperti seorang pemuda yang setulus hati mempersilahkan seorang Ibu duduk karena dia sadar. Sadar akan perbedaan seorang wanita dan laki-laki. Terlebih dengan sikon yang ada Yang umum saja tentang tingkah laku para koruptor, para penguasa sekarang, dan contoh-contoh sosial masyarakat lain yang mana mereka hanya mementingkan Ego mereka sendiri. Tanpa sadar akan hakikat suatu perbuatan.Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan budaya malunya. Malu apabila mereka tidak dipandang lebih oleh orang lain. Walaupun benar itu memang lumrah saja dilakukan oleh seseorang.
Lahirnya berbagai “ijtihad” dan eksperimentasi menemukan cara untuk membuat malu dan jera para koruptor tersebut adalah cermin bahwa kebudayaan kita ini masih tergolong shame culture (kebudayaan malu). Seperti kata K.Bertens (2002) dalam antropologi budaya pernah dibedakan antara dua macam kebudayaan:kebudayaan shame culture dan guilt culture, kebudayaan malu dan kebudayaan kebersalahan. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa bersalah. Dalam pengertian ini hal-hal yang berkaitan dengan formalitas sosial seperti gengsi, nama baik, reputasi dan hormat menjadi sesuatu yang sangat ditekankan dan dibela mati-matian. Bahaya terbesar bagi masyarakat yang budayanya berada pada level shame culture adalah kalau cacat atau aib yang menimpa pada diri mereka diketahui orang lain sehingga harag dirinya jatuh dan kehilangan muka.
Artinya, dalam masyrakat shame culture, yang menjadi persoalan bukanlah kejahatan itu sendiri, melainkan yang penting adalah bahwa perbuatan jahat itu tidak diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, dalam shame culture ini, sebuah sanksi datangnya dari sisi eksternal. Apa yang menjadi peniliaian dan perhatian orang lain itulah yang menjadi sanksi.Sebagian para ahli menilai bahwa budaya malu atau shame culture ini merupakan budaya yang hidup di negara-negara yang masyarakatnya masih primitif dan mengalami keterbelakangan.
Suburnya korupsi di Indonesia, dalam kontek budaya Indonesia, adalah karena budaya kita masih tergolong shame culture. Bahkan budaya malupun sekarang sudah mulai terkikis.Akibatnya, apabila ada pejabat yang bertindak korup dirinya tidak menjadikan kejahatan itu sebagai kegelisahan dan penyesalan yang sebenar-benarnya untuk tidak diulangi. Skandal korupsi itu, dalam praktiknya, justru menjadi bangkai yang harus ditutup-tutupi. Ketika sebuah skandal korupsi itu berhasil ditutup-tutupi, maka dalam kesadaran para koruptor itu merasa seolah urusannya beres dan selamat. Karena yang terpenting adalah sebuah tindakan korup itu tidak diketahui oleh publik, maka para koruptor itu enak saja melanggengkan tindakan korupnya tanpa merasa berdosa.
Guilt culture adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti  “dosa” (sin), “kebersalahan” (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain,  namun si pelaku merasa bersalah juga. Ia menyesal dan kurang tenang karena perbuatan itu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk oleh orang lain, jadi bukan karena tanggapan pihak luar. Dalam guilt culture, sanksinya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam : dari batin orang yang bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang peranan sangat penting”.
Menurut  para anthropolog, hampir sebagian besar kebudayaan Asia adalah shame culture, sedangkan kebudayaan barat di Eropa dan Amerika adalah guilt culture. Pengelompokan ini sangat bersifat umum dan tidak selalu benar. Kebudayaan Jepang dalam kenyataannya justru condong kepada budaya salah.
Jika memang benar bahwa budaya-budaya di Indonesia lebih sesuai dengan karakteristik budaya malu, maka kita dapat mengetahui sebab-sebab mengapa di republik ini selalu sulit menemukan orang-orang yang berani memikul tanggung jawab daripada menemukan “kambing hitam”. Itulah sebabnya pengunduran diri seorang anggota dewan yang terhormat dan “tertangkap basah” sedang melihat situs porno di ruang sidang menjadi sangat istimewa, dipuji dan dipuja-puja.
Padahal, sama sekali tidak ada yang istimewa dari pengunduran diri yang bersangkutan. Jika tidak “tertangkap basah”, apakah yang bersangkutan merasa bersalah dan mengundurkan diri?. Jika memang perbuatan melihat situs porno di ruang sidang adalah “haram” (baca : salah dan pelanggaran disiplin) bagi para anggota dewan yang terhormat, “tertangkap basah” atau tidak, mestinya mereka yang memang melakukan, pantas mengundurkan diri.
Selanjutnya, masih menurut Bertens bahwa kalau shame culture atau budaya malu ini merupakan budaya yang masih menjadikan sanksi dari luar sebagai ukuran utama, maka sebaliknya dengan guilt culture. Guilt culture adalah kebudayaan yang di mana pengertian-pengertian seperti dosa (sin), kebersalahan (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun kejahtan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, para pelaku kejhatan tetap dihinggapi rasa bersalah. Ia merasa menyesal merasa tidak tenang dan selalu gelisah bukan karena dikutuk atau dicela atau dipermalukan oleh orang lain, tetapi karena melakukan kejahatan itu sendiri. Seseorang merasa gelisah dan menyesal bukan karena tanggapan, rangsangan atau perhatian pihak luar, tetapi karena murni muncul dari dalam dirinya sendiri.
Jadi dengan demikian, dalam masyarakat guilt culture, sebuah sanksi kejahatan, misalnya korupsi, tidak datang dari luar melainkan dari dalam diri pihak yang melakukan kejahatan itu sendiri, bukan karena borgol ataupun baju koruptor, melainkan atas dasar refleksi diri, atas dasar kesadaran dan “kewarasan” jiwa seseorang. Dengan demikian, dalam guilt culture ini bukan KPK atau aparat keamanan yang menjadi panglima, melainkan hati nurani. Budaya guilt culture inilah yang menjadi tanda bahwa sebuah masyarakat adalah maju dan beradab. Masyarakat yang levelnya sudah mencapai kelas semacam ini jelas bisa melakukan perubahan yang progresif dan konstruktif dan tentu saja menjadikan tatanan sosial yang sehat.
Sebagai bangsa yang religius, sarat dengan tradisi dan budaya sudah saatnya Indonesia sekarang membangun budaya guilt culture. Para pejabat yang menjalankan amanah rakyat hendaknya menjadikan hati nurani sebagai lembaga kontrol dalam menjalankan kebijakan politiknya. Hati nurani yang merupakan hakim tertinggi dalam kehidupan manusia hendaknya selalu dijadikan sebagai badan pengawas dan KPK itu sendiri dalam diri para politisi.
Oleh karena itu, saatnya sekarang sistem kebudayaan Indonesia menuju pada guilt culture. Hal ini tentu sangat membutuhkan kesadaran hati nurani dari masing-masing kita selaku bangsa Indonesia. Kalau sistem kebudayaan ini berhasil kita bangun, maka tentu tidak susah-susah bagi kita untuk menanggulangi kasus korupsi.

B.     Pengembangan Mentalitas Pembangunan dan Penegakan Supremasi Hukum
Menurut Koenjraningrat ada beberapa cara untuk merobah mentalitas lemah: 1. Dengan memberi contoh yang baik, 2. Dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok, 3. Dengan persuasi dan penerangan, 4. Dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.
 Dalam buku ‘Pencerahan Mental, Kluthon menyebut ada 4 (empat) teori untuk mengukur sejauh mana perkembangan mental sebuah bangsa atau komunitas masyarakat dalam menyongsong era pembangunan. Kluthon menghimpunnya dalam lima sektor.
Pertama, Waktu. Manusia yang ‘maju’ senantiasa melihat ke depan. Ia tidak bangga dengan kebesaran masa lalunya. Tekadanya adalah bagaimana membangun masa depan yang gilang gemilang, baik dalam konteks individual maupun masyarakat secara kolektif. Sedang manusia yang ‘terbelakang’ justru terlena dan terbuai dengan masa lalu dan terus melihat masa lalu tanpa usaha dan tekad keras menuju masa depan yang lebih baik.
Kedua, Manusia. Manusia yang maju merupakan kumpulan individu-individu yang baik. Menghargai jasa orang lain. Disiplin menjaga waktu dan menjalankan tugasnya. Berjiwa membangun. Tidak egois. Saling tolong menolong. Tidak korup dan berbagai kebaikan lainnya. Sementara manusia yang terbelakang adalah sebaliknya, yaitu; Korup, egoistik, individualistic, sinkretistik, kapitalistik dan berbagai keburukan lainnya. Ketiga, Alam. Keadaan alam dibawah kendali masyarakat yang maju adalah lestari. Sedang keadaan alam dibawah kuasa masyarakat terbelakang adalah ‘ekploitasi’, penebangan hutan terjadi secara sistemik, sehingga alam seringkali marah pada manusia akibat ulah manusia-manusia terbelakang secara mental tersebut.
Keempat, Kerja. Masyarakat maju bekerja karena ingin bekerja, karena kerja harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Sedangkan masyarakat terbelakang secara mental bekerja karena kebutuhan. Bekerja hanya untuk mencari materi. Kelima, Dunia. Masyarakat yang maju melihat dunia ini sebagai sebuah peluang untuk membuka deposito amal sebanyak-banyaknya, sehingga dunia ini menjadi berharga dengan kehadirannya. Sedangkan masyarakat yang terbelakang secara mental tersebut, keberadaannya justru akan mengacaukan dunia yang damai. Bertabi’at perusuh, merusak, korup dan sebagainya sehingga dunia menjadi tidak berharga/sia-sia dengan keberadaannya.
Dengan ke lima teori ini, kita bisa mengukur sejauh mana problema mental yang menghinggap masyarakat dan Negara kita secara umum serta kemudian menjadi bahan evaluasi bagi kita dalam merancang jalannya pembangunan ke depan. Bahwa bangsa yang maju bukanlah diukur dengan kemajuan dalam sektor fisik. Keberhasilan pembangunan dalam sebuah Negara diukur secara mental.
 Koentjaraningrat, guru besar dalam antropologi budaya pada beberapa universitas terkemuka di Indonesia serta mempunyai reputasi internasional di bidang kebudayaan merupakan salah seorang tokoh budayawan terkemuka Indonesia yang pada waktu itu mulai memperkenalkan pendekatan kultural terhadap pembangunan. Serangkaian karangan ilmiah popule yang pernah ditulisnya pada harian Kompas dengan judul “Kini sering orang bertanya” pada awal tahun 1974 merupakan bagian terbesar dari isi buku ini. Pengertian mental yang banyak dipakai dalam ilmu psikologi pada dasarnya berarti ‘ sesuatu yang berkaitan dengan keseluruhan pikiran manusia dalam menanggapi lingkungannya’ (The ABC of Psychology, 1982). Dari pengertian ini bisa diartikan bahwa mental merupakan proses yang terjadi di dalam diri manusia sebagai akibat hubungan individu dengan individu lain di dalam lingkungannya. Dalam kondisi demikian mental bisa diartikan sebagai sikap.
Program pengembangan masyarakat sebenarnya tidak boleh hanya berorientasi kepada hasil program tetapi harus lebih memperhatikan ‘proses’ untuk mencapai hasil tersebut. Maka kegiatan pengembangan masyarakat harus lebih ditujukan untuk membentuk sikap masyarakat (caracter building). Meskipun untuk mewujudkan terbentuknya sikap yang benar memerlukan waktu yang lebih panjang, sikap ini merupakan dasar yang lebih kuat untuk membuat perubahan yang lebih berkelanjutan. Selain itu, sikap yang benar juga merupakan investasi untuk menentukan arah, jenis dan kualitas pembangunan yang lebih baik .
Masyarakat modern merupakan perkembangan dari masyarakat tradisional, sehingga perlu diketahui beberapa perbedaan untuk mengenal lebih baik arah perkembangan masyarakat. Berikut beberapa karakteristik bisa dilihat sebagai berikut :
Karakteristik Masyarakat Tradisional : Terikat pada kuatnya norma dalam sistem kekerabatan, Hidup dalam dunia yang tertutup, menggantungkan diri pada nasib, Takut / khawatir akan masuknya hal – hal baru, Alam dipandang sebagai hal yang dahsyat dan manusia tunduk kepadanya, Hidup berorientasi pada masa lalu, Gaya hidup pasif, Mobilitas masyarakat rendah.
Karakteristik Masyarakat Modern : Mengendurnya norma dalam sistem kekerabatan, Pola kehidupan lebih terbuka, nasib bisa dirubah, Hal – hal baru dipandang sebagai sesuatu yang masih menantang, Alam dipandang sebagai hal yang perlu dikuasai, Hidup berorientasi pada masa kini dan masa depan, Gaya hidup aktif dan inovatif dan Mobilitas masyarakat tinggi (Becoming Modern :Alex inkeles & David H.Smith, 1989).
PERKEMBANGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Kini, empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar