Antropologi Kebudayaan
Indonesia
Perombakan
Mentalitas Manusia Indonesia dari Shame Culture ke Quality Culture
Pengembangan
Mentalitas Pembangunan dan Penegakan Supremasi Hukum

Oleh:
Arjenia Tona Arman
17605/2010
Jurusan Sosiologi dan
Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri
Padang
2012
A.
Perombakan
Mentalitas Manusia Indonesia dari Shame Culture ke Quality Culture
Budaya malu (shame
culture) merupakan budaya dimana seseorang
melakukan sesuatu atas dasar malu. Malu apabila dia tidak melakukannya maka dia
akan di cemooh oleh orang lain. Dan itu menjadi motivasinya. Budaya tidak malu
(guilt culture) adalah budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa
tau dirinya, tau bagaimana kodratnya sebagai manusia. Budaya ini menghubungkan
pelakunya dengan rasa sadar akan dosa.
Seperti
seorang pemuda yang setulus hati mempersilahkan seorang Ibu duduk karena dia
sadar. Sadar akan perbedaan seorang wanita dan laki-laki. Terlebih dengan sikon
yang ada Yang umum saja tentang tingkah laku para koruptor, para penguasa
sekarang, dan contoh-contoh sosial masyarakat lain yang mana mereka hanya
mementingkan Ego mereka sendiri. Tanpa sadar akan hakikat suatu perbuatan.Kebanyakan
dari mereka hanya mementingkan budaya malunya. Malu apabila mereka tidak
dipandang lebih oleh orang lain. Walaupun benar itu memang lumrah saja
dilakukan oleh seseorang.
Lahirnya berbagai “ijtihad”
dan eksperimentasi menemukan cara untuk membuat malu dan jera para koruptor
tersebut adalah cermin bahwa kebudayaan kita ini masih tergolong shame
culture (kebudayaan malu). Seperti kata K.Bertens (2002) dalam antropologi
budaya pernah dibedakan antara dua macam kebudayaan:kebudayaan shame
culture dan guilt culture, kebudayaan malu dan kebudayaan
kebersalahan. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di
situ tidak dikenal rasa bersalah. Dalam pengertian ini hal-hal yang berkaitan
dengan formalitas sosial seperti gengsi, nama baik, reputasi dan hormat menjadi
sesuatu yang sangat ditekankan dan dibela mati-matian. Bahaya terbesar bagi
masyarakat yang budayanya berada pada level shame culture adalah kalau
cacat atau aib yang menimpa pada diri mereka diketahui orang lain sehingga
harag dirinya jatuh dan kehilangan muka.
Artinya, dalam masyrakat shame
culture, yang menjadi persoalan bukanlah kejahatan itu sendiri, melainkan
yang penting adalah bahwa perbuatan jahat itu tidak diketahui oleh orang lain.
Dengan demikian, dalam shame culture ini, sebuah sanksi datangnya dari
sisi eksternal. Apa yang menjadi peniliaian dan perhatian orang lain itulah
yang menjadi sanksi.Sebagian para ahli menilai bahwa budaya malu atau shame
culture ini merupakan budaya yang hidup di negara-negara yang masyarakatnya masih
primitif dan mengalami keterbelakangan.
Suburnya korupsi di
Indonesia, dalam kontek budaya Indonesia, adalah karena budaya kita masih
tergolong shame culture. Bahkan budaya malupun sekarang sudah mulai
terkikis.Akibatnya, apabila ada pejabat yang bertindak korup dirinya tidak
menjadikan kejahatan itu sebagai kegelisahan dan penyesalan yang
sebenar-benarnya untuk tidak diulangi. Skandal korupsi itu, dalam praktiknya,
justru menjadi bangkai yang harus ditutup-tutupi. Ketika sebuah skandal korupsi
itu berhasil ditutup-tutupi, maka dalam kesadaran para koruptor itu merasa
seolah urusannya beres dan selamat. Karena yang terpenting adalah sebuah
tindakan korup itu tidak diketahui oleh publik, maka para koruptor itu enak
saja melanggengkan tindakan korupnya tanpa merasa berdosa.
Guilt culture
adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “dosa” (sin),
“kebersalahan” (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu
kejahatan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku
merasa bersalah juga. Ia menyesal dan kurang tenang karena perbuatan itu
sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk oleh orang lain, jadi bukan karena
tanggapan pihak luar. Dalam guilt culture, sanksinya tidak datang dari luar,
melainkan dari dalam : dari batin orang yang bersangkutan. Dapat dimengerti
bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang peranan sangat
penting”.
Menurut
para anthropolog, hampir sebagian besar kebudayaan Asia adalah shame culture,
sedangkan kebudayaan barat di Eropa dan Amerika adalah guilt culture.
Pengelompokan ini sangat bersifat umum dan tidak selalu benar. Kebudayaan
Jepang dalam kenyataannya justru condong kepada budaya salah.
Jika memang
benar bahwa budaya-budaya di Indonesia lebih sesuai dengan karakteristik budaya
malu, maka kita dapat mengetahui sebab-sebab mengapa di republik ini selalu
sulit menemukan orang-orang yang berani memikul tanggung jawab daripada
menemukan “kambing hitam”. Itulah sebabnya pengunduran diri seorang anggota
dewan yang terhormat dan “tertangkap basah” sedang melihat situs porno di ruang
sidang menjadi sangat istimewa, dipuji dan dipuja-puja.
Padahal,
sama sekali tidak ada yang istimewa dari pengunduran diri yang bersangkutan.
Jika tidak “tertangkap basah”, apakah yang bersangkutan merasa bersalah dan
mengundurkan diri?. Jika memang perbuatan melihat situs porno di ruang sidang
adalah “haram” (baca : salah dan pelanggaran disiplin) bagi para anggota dewan
yang terhormat, “tertangkap basah” atau tidak, mestinya mereka yang memang
melakukan, pantas mengundurkan diri.
Selanjutnya, masih menurut
Bertens bahwa kalau shame culture atau budaya malu ini merupakan
budaya yang masih menjadikan sanksi dari luar sebagai ukuran utama, maka
sebaliknya dengan guilt culture. Guilt culture adalah
kebudayaan yang di mana pengertian-pengertian seperti dosa (sin),
kebersalahan (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun
kejahtan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, para pelaku kejhatan
tetap dihinggapi rasa bersalah. Ia merasa menyesal merasa tidak tenang dan
selalu gelisah bukan karena dikutuk atau dicela atau dipermalukan oleh orang
lain, tetapi karena melakukan kejahatan itu sendiri. Seseorang merasa gelisah
dan menyesal bukan karena tanggapan, rangsangan atau perhatian pihak luar,
tetapi karena murni muncul dari dalam dirinya sendiri.
Jadi dengan demikian, dalam
masyarakat guilt culture, sebuah sanksi kejahatan, misalnya korupsi,
tidak datang dari luar melainkan dari dalam diri pihak yang melakukan kejahatan
itu sendiri, bukan karena borgol ataupun baju koruptor, melainkan atas dasar
refleksi diri, atas dasar kesadaran dan “kewarasan” jiwa seseorang. Dengan
demikian, dalam guilt culture ini bukan KPK atau aparat keamanan yang
menjadi panglima, melainkan hati nurani. Budaya guilt culture inilah
yang menjadi tanda bahwa sebuah masyarakat adalah maju dan beradab. Masyarakat
yang levelnya sudah mencapai kelas semacam ini jelas bisa melakukan perubahan
yang progresif dan konstruktif dan tentu saja menjadikan tatanan sosial yang
sehat.
Sebagai bangsa yang
religius, sarat dengan tradisi dan budaya sudah saatnya Indonesia sekarang
membangun budaya guilt culture. Para pejabat yang menjalankan amanah
rakyat hendaknya menjadikan hati nurani sebagai lembaga kontrol dalam
menjalankan kebijakan politiknya. Hati nurani yang merupakan hakim tertinggi
dalam kehidupan manusia hendaknya selalu dijadikan sebagai badan pengawas dan
KPK itu sendiri dalam diri para politisi.
Oleh karena itu, saatnya
sekarang sistem kebudayaan Indonesia menuju pada guilt culture. Hal
ini tentu sangat membutuhkan kesadaran hati nurani dari masing-masing kita
selaku bangsa Indonesia. Kalau sistem kebudayaan ini berhasil kita bangun, maka
tentu tidak susah-susah bagi kita untuk menanggulangi kasus korupsi.
B.
Pengembangan
Mentalitas Pembangunan dan Penegakan Supremasi Hukum
Menurut Koenjraningrat ada
beberapa cara untuk merobah mentalitas lemah: 1. Dengan memberi contoh yang
baik, 2. Dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok, 3. Dengan persuasi
dan penerangan, 4. Dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru
untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.
Dalam buku ‘Pencerahan Mental, Kluthon menyebut
ada 4 (empat) teori untuk mengukur sejauh mana perkembangan mental sebuah
bangsa atau komunitas masyarakat dalam menyongsong era pembangunan. Kluthon
menghimpunnya dalam lima sektor.
Pertama, Waktu. Manusia yang ‘maju’ senantiasa melihat ke depan. Ia tidak
bangga dengan kebesaran masa lalunya. Tekadanya adalah bagaimana membangun masa
depan yang gilang gemilang, baik dalam konteks individual maupun masyarakat
secara kolektif. Sedang manusia yang ‘terbelakang’ justru terlena dan terbuai
dengan masa lalu dan terus melihat masa lalu tanpa usaha dan tekad keras menuju
masa depan yang lebih baik.
Kedua, Manusia. Manusia yang maju merupakan kumpulan individu-individu yang
baik. Menghargai jasa orang lain. Disiplin menjaga waktu dan menjalankan
tugasnya. Berjiwa membangun. Tidak egois. Saling tolong menolong. Tidak korup
dan berbagai kebaikan lainnya. Sementara manusia yang terbelakang adalah
sebaliknya, yaitu; Korup, egoistik, individualistic, sinkretistik, kapitalistik
dan berbagai keburukan lainnya. Ketiga, Alam. Keadaan alam dibawah
kendali masyarakat yang maju adalah lestari. Sedang keadaan alam dibawah kuasa
masyarakat terbelakang adalah ‘ekploitasi’, penebangan hutan terjadi secara
sistemik, sehingga alam seringkali marah pada manusia akibat ulah
manusia-manusia terbelakang secara mental tersebut.
Keempat, Kerja. Masyarakat maju bekerja karena ingin bekerja, karena kerja
harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Sedangkan masyarakat
terbelakang secara mental bekerja karena kebutuhan. Bekerja hanya untuk mencari
materi. Kelima, Dunia. Masyarakat yang maju melihat dunia ini sebagai
sebuah peluang untuk membuka deposito amal sebanyak-banyaknya, sehingga dunia
ini menjadi berharga dengan kehadirannya. Sedangkan masyarakat yang terbelakang
secara mental tersebut, keberadaannya justru akan mengacaukan dunia yang damai.
Bertabi’at perusuh, merusak, korup dan sebagainya sehingga dunia menjadi tidak
berharga/sia-sia dengan keberadaannya.
Dengan ke lima teori ini,
kita bisa mengukur sejauh mana problema mental yang menghinggap masyarakat dan
Negara kita secara umum serta kemudian menjadi bahan evaluasi bagi kita dalam
merancang jalannya pembangunan ke depan. Bahwa bangsa yang maju bukanlah diukur
dengan kemajuan dalam sektor fisik. Keberhasilan pembangunan dalam sebuah
Negara diukur secara mental.
Koentjaraningrat, guru besar dalam antropologi
budaya pada beberapa universitas terkemuka di Indonesia serta mempunyai
reputasi internasional di bidang kebudayaan merupakan salah seorang tokoh
budayawan terkemuka Indonesia yang pada waktu itu mulai memperkenalkan
pendekatan kultural terhadap pembangunan. Serangkaian karangan ilmiah popule
yang pernah ditulisnya pada harian Kompas dengan judul “Kini sering orang
bertanya” pada awal tahun 1974 merupakan bagian terbesar dari isi buku ini. Pengertian
mental yang banyak dipakai dalam ilmu psikologi pada dasarnya berarti ‘ sesuatu
yang berkaitan dengan keseluruhan pikiran manusia dalam menanggapi
lingkungannya’ (The ABC of Psychology, 1982). Dari pengertian ini bisa
diartikan bahwa mental merupakan proses yang terjadi di dalam diri manusia
sebagai akibat hubungan individu dengan individu lain di dalam lingkungannya.
Dalam kondisi demikian mental bisa diartikan sebagai sikap.
Program pengembangan
masyarakat sebenarnya tidak boleh hanya berorientasi kepada hasil program
tetapi harus lebih memperhatikan ‘proses’ untuk mencapai hasil tersebut. Maka
kegiatan pengembangan masyarakat harus lebih ditujukan untuk membentuk sikap
masyarakat (caracter building). Meskipun untuk mewujudkan terbentuknya sikap
yang benar memerlukan waktu yang lebih panjang, sikap ini merupakan dasar yang
lebih kuat untuk membuat perubahan yang lebih berkelanjutan. Selain itu, sikap
yang benar juga merupakan investasi untuk menentukan arah, jenis dan kualitas
pembangunan yang lebih baik .
Masyarakat modern merupakan perkembangan dari masyarakat tradisional, sehingga perlu diketahui beberapa perbedaan untuk mengenal lebih baik arah perkembangan masyarakat. Berikut beberapa karakteristik bisa dilihat sebagai berikut :
Masyarakat modern merupakan perkembangan dari masyarakat tradisional, sehingga perlu diketahui beberapa perbedaan untuk mengenal lebih baik arah perkembangan masyarakat. Berikut beberapa karakteristik bisa dilihat sebagai berikut :
Karakteristik
Masyarakat Tradisional : Terikat pada kuatnya
norma dalam sistem kekerabatan, Hidup dalam dunia yang tertutup, menggantungkan
diri pada nasib, Takut / khawatir akan masuknya hal – hal baru, Alam dipandang
sebagai hal yang dahsyat dan manusia tunduk kepadanya, Hidup berorientasi pada
masa lalu, Gaya hidup pasif, Mobilitas masyarakat rendah.
Karakteristik
Masyarakat Modern : Mengendurnya norma dalam
sistem kekerabatan, Pola kehidupan lebih terbuka, nasib bisa dirubah, Hal – hal
baru dipandang sebagai sesuatu yang masih menantang, Alam dipandang sebagai hal
yang perlu dikuasai, Hidup berorientasi pada masa kini dan masa depan, Gaya
hidup aktif dan inovatif dan Mobilitas masyarakat tinggi (Becoming Modern :Alex
inkeles & David H.Smith, 1989).
PERKEMBANGAN
PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Kini, empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata
penegakan supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan
Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang
berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana
penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN
dilakukan. Harus diakui, di
era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru.
Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas
baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari
memuaskan.
Secara umum belum terlihat
adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang
tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi
prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan
kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara
makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk
“perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi
bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin
karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas
pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui
berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan
menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu
menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana
hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule
of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution.
Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum
kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya
sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu
komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 :
1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak
direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Koentjaraningrat.
2004. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar