Rabu, 05 November 2014

Sepenggal Kisah Untuk Indonesia


Indonesia sudah merdeka selama selama 69 tahun, tentunya ini bukan umur yang muda untuk sebuah negara yang baru pulih dari sakit dan trauma masa silam penjajahan. Indonesia dengan kebesaran dan kemajemukan masyarakatnya terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangngas sampai Pulau Rote. Sekarang Indonesia ku ibarat kura-kura yang berjalan pelan dari pesisir menuju laut untuk mendapatkan sebuah kebebasan untuk bertahan hidup di alam, sesampainya dilaut ternyata keindahan dan kesenangan hidup jauh lebih sulit lagi, bermacam-macam predator dan kondisi alam yang tidak bersahabat membuat kura-kura hidup penuh perjuangan, dianalogikan sekarang bangsa kita seperti kehidupan kura-kura dalam kisah itu. yang konon katanya negeri ini adalah kolam susu hidup dalam kesakitan yang berkepanjangan, merangkak dari terseok-seok dalam harus perubahan zaman.
Indonesia hanyalah kenangan dan kejayaan masa lalu, ketika sumpah palapa Gajah Mada ingin menyatukan nusantara dan kejayaan kerajaan Sriwijaya se-asia tenggara namun sekarang hanya puing-puing candi dan petilasan sebagai saksi  kemegahan dan kejayaan masa lalu itu, sekarang bangsa ini sedang sakit dan terpuruk. Sakit yang kian parah ketika para pemimpin tidak lagi menngayomi rakyat, ketika pemerintahan hanyalah simbol kekuasaan semu di tangan rakyat, ketika pertikaian antar golongan karena perbedaan-perbedaan yang ada tidak dapat terelakan lagi, tak adalagi persaudaraan yang persamaan yang terasa hanyalah perbedaan. ketika esensial sumpah pemuda hanyalah tinggal butir-butir janji sejarah masa lalu para pendahulu, (satu bangsa-satu tanah air dan satu bahasa bahasa) yaitu Indonesia.
Bangsa ini harus segera bangkit dan sembuh dari penyakit, semua itu tugas  dan tanggung jawab yang besar di pundak para pemuda bangsa ini, ketika generasi tua telah mewariskan kemerdekaan dan kita hidup nyaman di bawah naungan kebebasan namun itu semua sekarang semu belaka, ketika bangsa ini jauh tertinggal dari bangsa lain. pemuda hari ini tidak harus berjuang untuk merdeka melawan penjajah dengan bambu runcing, tapi pemuda hari ini dituntut untuk memiliki pemikiran yang luas ,ilmu yang tinggi, skill yang bagus dan attitude yang baik. Karena kita tidak lagi berada di zaman penjajahan namun di zaman perjuangan menghadapi pemikiran-pemikiran modern dan postmodern, teknologi dan komunikasi menjadi raksasa yang menguasai setiap lini kehidupan. Semua itu membawa arus  globalisasi dan modernisasi sampai  ke pelosok  desa sekalipun  tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran dan ideology kapitalisme. Untuk itu pemuda harus membuat tindakan nyata, salah satu hal kecil yang berdampak besar yang kita lakukan adalah belajar dengan sebaik-baiknya secara tidak langsung kita telah mengabdi kepada negara untuk mengurangi kebodohan.
Jangan enggkau tanyakan apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan untuk negaramu” Jonh F Kenndy
Allah SWT saja menjanjikan dalam firmanya surat Ar-ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”.

pilihan rasional "James Samuel Coleman"


Teori Pilihan rasional dipopulerkan oleh James Samuel Coleman (1926-1995) dalam jurnal Rationality and Society pada 1989.  Pemilihan teori ini sebagai pisau analisa permasalahan perempuan pada pemilu legislatif  karena teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai, keperluan, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihannya. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.[1]
Menurut Coleman ada dua unsur utama dalam teori pilihan rasional yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Interaksi antara aktor dan sumber daya secara rinci menuju ke tingkat sistem sosial, di mana basis minimal untuk sistem sosial tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan.[2]
Dilanjutkan dengan hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan perilaku sistem sosial. Akan tetapi pada akhirnya memusatkan perhatian pada aspek hubungan mikro-mikro atau dampak tindakan individu terhadap individu lainya. Coleman memilih menjelaskan perilaku kolektif karena cirinya yang tidak stabil sukar dianalisis tetapi dia mampu menjelaskan dengan menggunakan perspektif pilihan rasional, perilaku kolektif merupakan upaya beberapa aktor sehingga menyebabkan pula keseimbangan dalam masyarakat. Dalam artian bahwa aktor kolektif maupun aktor individual mempunyai tujuan. Demikian pula dengan halnya norma. Menurutnya norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang yang melihat keuntungan yang dihasilkan dan kerugian yang berasal dari pelanggaran norma tertentu, di sini norma merupakan fenomena tingkat makro yang lahir berdasarkan tindakan bertujuan di tingkat mikro.[3]
Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata seseorang tak selalu berperilaku rasional, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tidak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkan dengan memusatkan perhatian pada hubungan mikro-makro. Ada tiga  kelemahan pendekatan Coleman Pertama memberikan prioritas perhatian yang berlebihan pada hubungan mikro-makro,  kedua mengabaikan masalah makro-makro, ketiga hubungan sebab akibat hanya menunjuk pada satu arah.[4]
Dapat ditemukan bahwa dalam hubungan antara dua individu atau lebih, senantiasa berorientasi pada aspek sosial ekonomi yang meliputi, unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan. Pengorbanan di sini adalah semua hal yang dihindarkan, sedangkan keuntungaan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Dengan demikian, perilaku sosial  terdiri atas perhitungan untung-rugi. Teori ini dapat digunakan dalam menganalisis pola perilaku di tempat kerja, perilaku politik, pola perilaku persahabatan, termasuk pola perilaku dalam perkawinan. Jelasnya bahwa setiap hubungan hanya akan langgeng apabila semua pihak yang terlibat merasa mendapatkan keuntungan. Rasionalnya, setiap perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungan untung rugi.[5]
Terdapat empat konsep dalam teori ini yakni: ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan. Pertama, ganjaran. Setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan adalah ganjaran dapat berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu lain. Kedua, biaya. Akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan disebut sebagai biaya. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan.[6]
Ketiga, hasil yaitu selisih antara ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Keempat, tingkat perbandingan. Menunjukan standar yang digunakan sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternative hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun.[7]


[1] Upe, Ambo. 2010. Tradisi Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik Ke Post Positivistik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada hal 193
[2] Ibid hal 194
[3] Ibid hal 194
[4] Ibid hal 195
[5] Ibid hal 196
[6] Ibid hal 196-197
[7] Ibid hal 197-198